Kalaulah muara cinta bukan Sang Maha Pemilik Cinta, kegilaan macam apa yang akan dialami oleh para pencinta? Mati seperti Qais dan Laila? Menegak racun seperti Romeo dan Juliet?
Kalaulah muara cinta adalah manusia, seperti apalagi bentuk hati yang koyak oleh prasangka? Bahkan jawaban-jawaban atas segala sangka pun tak cukup untuk menyulam luka. Kita mau menata hati itu kembali, tapi manusia bahkan tak punya daya untuk merapikan hatinya sendiri kan? Selalu ada Tangan Dia yang menata puzzle hatimu yang sudah terkoyak. Entah dengan cara apa. Hingga sebentuk kejujuran tak mampu lagi mengembalikan hati yang lukanya sembuh sekalipun. Kita tak punya daya apa-apa lagi. Tangan Dia sudah bekerja. Sedang tugas kita hanya menerima.
Kalaulah muara cinta bukan Sang Penata Hati itu, penyesalan yang bagaimana yang akan didera oleh jiwa-jiwa melankolis? Yang berjuang atas nama kesetiaan tapi roboh oleh tulisan takdir. Yang selalu mencintai bahkan ketika luka menjadi sahabat. Yang melepaskan karena kedalaman cinta itu sendiri.
Mereka yang bijak mengatakan bahwa hakikat cinta sejati adalah tentang melepaskan. Aku pun mempercayainya. Cinta adalah energi. Kita tahu, dalam ilmu fisika, energi bersifat kekal. Ia tak akan pernah hilang, ia hanya berubah bentuk. Maka, jika cinta sepenuhnya adalah energi, cinta hanya berubah menjadi samudera ikhlas setelah kata melepaskan menjadi keniscayaan atas cinta.
Perlahan tapi pasti, mencintai adalah mengenal Dia, mengenal setiap makna di balik takdir-Nya. Mengenal semiotika kehidupan. Mengenal setiap rasa dan logika yang dititipkan di tubuh dan jiwa kita. Bukankah mengenal dan mendekat pada-Nya adalah hakikat hidup itu sendiri?
“… Maka, jika cinta sepenuhnya adalah energi, cinta hanya berubah menjadi samudera ikhlas setelah kata melepaskan menjadi keniscayaan atas cinta.”
Indah sekali.
🙂
Karena perasaan tidak pernah musnah, hanya berubah dari satu bentuk ke bentuk lainnya 😉
nice post ❤
nice…
Reblogged this on MTs Negeri Pantar.